Plato dan Gua (alias: Menanam Kerendahan Hati Intelektual)
Barangkali kalau boleh dibilang, Plato (428-348 SM) adalah filsuf Yunani Kuno yang paling terkenal. Lewat karya besar seperti
Republik dan
Dialog
gagasannya membentuk fondasi peradaban Barat. Mulai dari bidang
pemerintahan, etika, hingga ilmu logika, semua tak lepas dari pengaruh
pemikirannya.
Plato sebagaimana digambarkan dalam sebuah lukisan Renaissance
Layaknya filsuf Yunani sezamannya, Plato sering menggunakan analogi
dan ilustrasi untuk menjelaskan ide-idenya. Tujuannya tentu supaya orang
lebih mudah memahami maksudnya. Lewat analogi dan ilustrasi inilah
orang-orang awam — yang tidak terlatih ilmu filsafat — dapat
membayangkan argumen Plato.
Nah, salah satu ilustrasi Plato yang paling terkenal disebut sebagai “Perumpamaan Gua”
(Allegory of The Cave). Lewat ilustrasi ini Plato berusaha memperkenalkan konsep seperti realitas dan
transendensi
kepada pembaca. Meskipun demikian Plato tidak menyampaikan ide ini
secara langsung — ia menjelaskannya sebagai cerita dari mulut gurunya,
Sokrates, yang sedang mengobrol bersama Glaucon.
[1]
Seperti apa ceritanya,
here goes.
Seperti Apa Perumpamaannya?
Perumpamaan Gua versi Plato yang sebenarnya agak panjang; melibatkan dialog yang cukup intens.
[2] Oleh karena itu, untuk memudahkan pembahasan, berikut ini saya tuliskan rangkumannya dalam Bahasa Indonesia.
Pertama-tama kita bayangkan sekelompok orang yang ditawan
sejak lahir. Orang-orang ini sejak kecil dirantai dalam gua. Tangan,
kepala, dan kaki mereka diikat secara ketat, sedemikian hingga seumur
hidup cuma bisa menatap dinding di depan mereka.
Di belakang mereka terdapat api unggun besar. Apabila ada orang atau
binatang lewat, maka bayangannya akan terpantul ke dinding di depan para
tawanan. Setiap kali orang atau binatang itu bersuara, suaranya akan
bergema sampai ke telinga para tawanan.
Karena seumur hidup cuma melihat pantulan di dinding, para tawanan
mengira bayangan dan gema itu sebagai “kenyataan sebenarnya”. Mereka
tidak menyadari bahwa semua itu sekadar pantulan dari benda di belakang mereka.
Poin utama Plato sampai di sini adalah bahwa manusia
menyangka kenyataan berdasarkan apa yang mereka persepsi.
Dalam kasus ini, tawanan yang seumur hidup menatap dinding akan
terdorong menganggap bayang-bayang — dan suara gema — sebagai sebentuk
realitas.
Melanjutkan ide di atas, Plato mengetengahkan:
Akan tetapi, bagaimana kalau kita lepaskan satu orang
dari tawanan tersebut? Apabila ia kita seret keluar gua maka ia akan
merasa kesakitan. Badannya yang seumur hidup dirantai tak biasa
bergerak. Matanya akan perih menatap cahaya terang dunia luar. Orang ini
akan mengalami kesakitan yang luar biasa.
Meskipun begitu, setelah beberapa waktu, dia akan beradaptasi.
Matanya menyesuaikan diri; demikian pula dengan badannya. Dia menyadari
bahwa ada kenyataan yang melampaui bayangan dalam gua.
Dalam sekejap pengetahuannya bertambah — ia tidak lagi menjadi “orang gua” yang naif.
Ketika melihat kembali ke dalam gua, orang ini akan menyadari bahwa
kenyataan yang dipercaya selama ini salah. Semua yang ia lihat dan
dengar itu bukan kenyataan sebenarnya — melainkan, sekadar refleksi dari kenyataan yang lebih tinggi.
Bagian terakhir, sebagai penutup:
Seandainya orang ini — yang sudah pernah bebas — kembali ke dalam gua menemui teman-temannya. Apa yang akan terjadi?
Ada kemungkinan ia akan dikucilkan karena pandangannya tentang
kenyataan berbeda dengan mereka. Ada kemungkinan bahwa — apabila hendak
membebaskan teman-temannya — ia akan dibenci karena menimbulkan rasa
sakit yang luar biasa. Ada juga kemungkinan bahwa ia akan dipandang
rendah. Karena matanya sudah beradaptasi dengan dunia luar, ia tidak
lagi pandai mengamati bayangan di dinding.
Pada akhirnya, di mata orang-orang yang belum tercerahkan,
persinggungan Si Orang Bebas dengan dunia luar tidak ada bagusnya. Boleh
jadi ia akan dianggap sebagai orang linglung atau sakit jiwa. Sementara
di sisi lain: justru orang-orang dalam gua itu yang sebenarnya naif.
Kurang lebih seperti itulah ringkasan dari Alegori Gua versi Plato. Tentunya kemudian timbul pertanyaan. Kira-kira, apa
sih yang sebenarnya dibicarakan oleh Plato?
Analisis: Sebenarnya, Apa yang Dibicarakan oleh Plato?
a) Forma Kenyataan
Sekilas kalau kita perhatikan, ada tema menonjol dalam ilustrasi gua di atas. Tema tersebut adalah
persepsi akan kenyataan. Mengenai hal ini ada ceritanya lagi, dan akan segera kita uraikan.
Syahdan, sebagai seorang filsuf, Plato percaya akan adanya bentuk Kenyataan Tertinggi (disebut sebagai
Forma).
[3] Kenyataan Tertinggi ini bersifat
transenden; terpisah dari dunia dan mustahil dipersepsi langsung. Hanya
citranya saja yang terpancar di dunia kita.
Misalnya begini. Di dunia nyata, kita tidak pernah melihat ada
lingkaran sempurna. Kalau kita menggambar lingkaran pasti ada cacatnya:
agak terlalu lonjong lah; sisinya bergerigi lah; atau lain sebagainya.
Akan tetapi di benak kita, kita tahu
seperti apa kira-kira lingkaran sempurna itu. Hanya menemukan contohnya saja yang agak sulit.
Bola sepak di atas tidak sepenuhnya sempurna, tetapi, kita sepakat bahwa bentuknya bulat.
Nah, ide akan “lingkaran sempurna” itu dianggap Plato sebagai contoh kehadiran Forma.

Citranya terpancar di lingkungan sehari-hari — entah itu bola sepak,
meja bundar, atau penampang pohon. Di satu sisi kita tahu mereka tidak
bulat sempurna. Akan tetapi kita sepakat bahwa mereka
berbentuk lingkaran.
Plato berpendapat bahwa Forma itu seperti lingkaran sempurna yang
dicontohkan. Forma itu Kenyataan Tertinggi Maha Sempurna. Meskipun
begitu kita hidup di dunia serba terbatas. Oleh karena itu, cerminan
Forma di dunia tidak mungkin sempurna — sudah pasti di sana-sini ada
cacatnya.
***
Kembali ke kisah gua di atas…
Salah satu tujuan Plato lewat Perumpamaan Gua adalah menjelaskan
tentang Forma. Yang namanya manusia, pendapatnya tentang kenyataan
dibatasi oleh persepsi. Orang yang sepanjang hidup dipaksa menatap
tembok hanya pernah menatap bayang-bayang dua dimensi. Oleh karenanya
pengetahuan mereka tentang dunia terbatas di situ. Bahwa dunia itu
adanya cuma dua dimensi; diwakili oleh bayang-bayang dan gema suara.
Apabila ada bayangan orang lewat, maka dikatakan “ada orang lewat”.
Apabila ada bayangan kelelawar terbang, maka dikatakan “ada kelelawar
terbang”. Dan seterusnya, dan lain sebagainya.
Akan tetapi faktanya, yang dipercaya tawanan gua sebagai “benda” itu
bukan benda sebenarnya. Yang mereka sebut sebagai “orang” atau
“kelelawar” itu sekadar
refleksi. Sementara di sisi lain: benda yang menimbulkan bayangan luput dari perhatian.
Di tembok
sih kelihatannya mirip gajah.
Di sini Plato hendak mengetengahkan satu hal. Kadang, orang terjebak
mengamini apa yang mereka persepsi sebagai “kenyataan sebenarnya”.
Sementara faktanya belum tentu — bisa saja apa yang dilihat itu aslinya
cuma sebagian kecil.
Analogi ini kemudian diperluas ke dunia amatan kita sehari-hari.
Mungkinkah bahwa semua rasa, bau, dan warna yang kita persepsi sekadar
cerminan? Plato menduga demikian. Dalam filsafat Plato, semua persepsi
itu pada dasarnya refleksi dari Forma; bentuk Kenyataan Tertinggi.
b) Transendensi: Dunia Yang Maha Lain
Bagian selanjutnya dari Alegori Gua berkisah tentang tawanan yang
dibebaskan. Orang ini tadinya seumur hidup menatap dinding. Meskipun
begitu ia kemudian diseret keluar; berhadapan dengan dunia luas. Apa
yang akan terjadi?
Pertama-tama, orang tersebut digambarkan mengalami rasa sakit luar
biasa. Setelah itu ia digambarkan mengalami kebingungan: ternyata ada
dunia di luar dua-dimensi yang selama ini ia tahu. Anggapan tentang
realitas yang diyakini selama ini jungkir balik. Bisa dibayangkan bahwa
dia tersiksa secara lahir-batin.
“The Truth Will Make You Fret”
Meminjam istilah budayawan Goenawan Mohamad, si mantan tawanan akan merasa berada di dunia yang
“Maha Lain”.
[4]
Dunia yang melampaui semua pengetahuan dan persepsinya. Jikapun hendak
dijelaskan lewat akal, maka akan mustahil — sebab benaknya tidak pernah
berkenalan dengan dunia tiga-dimensi.
Boleh dibilang bahwa si mantan tawanan sedang merasakan
transendensi. Bagi otaknya yang sederhana, pemandangan di luar gua adalah
kenyataan super kompleks yang melampaui akal dan ilmu.
Akan tetapi setelah beberapa waktu, dia akan belajar menyesuaikan
diri. Perlahan dia akan terbiasa hidup di dunia tiga-dimensi. Ia mulai
paham bagaimana hidup bersama sungai, hutan, dan gunung. Dengan satu
atau lain cara, ia akan mulai mengerti dunia yang — pada awalnya —
bersifat “Maha Lain”.
c) Kembali ke Gua: Kemustahilan Menjelaskan
Bagian terakhir alegori adalah ketika si mantan tawanan kembali dalam
gua. Dikisahkan bahwa si tawanan mencoba bercerita pengalamannya.
Meskipun begitu, orang dalam gua tidak dapat memahami ceritanya. Lebih
jauh lagi: ia dianggap sebagai orang linglung yang kehilangan akal.
Ini karena rekan-rekannya di dalam gua tidak punya bayangan akan apa
yang disampaikan. Katakanlah misalnya tentang pohon. Bagaimana mungkin
menjelaskan tentang pohon pada orang yang sehari-hari cuma tahu
bayangan? Bentuknya yang silinder; warnanya yang hijau; cabangnya yang
menyemburat? Di sini kita lihat
keterbatasan persepsi menggagalkan orang mengerti kenyataan yang lebih tinggi.
Betapapun si mantan tawanan berupaya menjelaskan, ia tidak akan dapat mengomunikasikan dengan baik. Terlalu banyak
gap
pengetahuan antara dia dan teman-temannya. Belum lagi cara berpikirnya
yang kini sudah masuk tiga-dimensi — berbeda dengan mereka yang masih
berkutat di dua-dimensi. Pada akhirnya pengetahuan akan “kenyataan
sebenarnya” jadi teronggok sia-sia.
Barangkali kalau boleh dibilang, inilah problemnya dengan para nabi dan mistikus dunia kita — kalau memang klaim mereka benar.
[5]
Mereka merasa telah bersentuhan dengan dunia Tuhan yang adialami. Akan
tetapi ketika hendak mengomunikasikannya, mereka gagal total. Cuma bisa
lewat perumpamaan dan metafora. Sebab memang yang transenden itu
melampaui yang kita kenal sehari-hari.
Mengenai si mantan tawanan sendiri, dikatakan bahwa ada kemungkinan
ia menyulut kemarahan. Sebab uraiannya akan “dunia” menyalahi keyakinan
umum. Malah Plato menambahkan dalam dialognya: “Seandainya tangan dan
kaki teman-temannya tidak terikat, tidakkah mungkin bahwa mereka akan
membunuhnya?”
Penutup: Menanam Kerendahan Hati Intelektual
Di dalam kehidupan ada banyak hal yang kita tidak tahu. Kita sering
bertanya tentang banyak hal. Misalnya, apakah dunia gaib itu ada?
Bagaimana dengan Tuhan dan Malaikat? Mungkinkah sebenarnya ada dimensi
di luar ruang-waktu? Dan seterusnya, dan lain sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan ini susah untuk dijawab, sebab, urusannya
tentang ranah yang tak diketahui. Ibaratnya kita seperti tawanan dalam
gua di dunia tiga-dimensi. Kita melihat bunga, bukit, pohon; mencium
bebauan dan sebagainya. Kadang kita merasa sudah melihat “kenyataan
sepenuhnya”. Akan tetapi, benarkah seperti itu?
Belum tentu. Boleh jadi ada level-level kenyataan lain yang luput dari amatan kita.
Adapun menurut Plato, semua yang kita amati di dunia aslinya sekadar
refleksi Kenyataan Tertinggi. Bukan kenyataan sebenarnya — melainkan
sekadar
citra. Oleh karena itu amat gegabah jika meyakini apa yang kita persepsi sebagai
reality as it is. Di sini orang harus ingat untuk berhati-hati.
Jangan sampai justru kita bertindak seperti tawanan gua yang naif.
Merasa bahwa persepsinya sudah mewakili kenyataan, lalu dari situ
mengatakan: “tidak ada apa-apa lagi di luar ini”. Sementara kenyataannya
jauh panggang dari api.
Hanya dengan kerendahan hati orang bisa terbuka pada kebenaran,
betapapun mungkin kebenaran itu terdengar absurd. Selalu ada kemungkinan
bahwa yang kita lihat itu cuma sepercik kecil dari kompleksitas luar
biasa.
Mengutip dialog Shakespeare dalam Hamlet,
“There are more things in heaven and earth, Horatio,
Than are dreamt of in your philosophy.”
— William Shakespeare, Hamlet Act I scene V
http://zenosphere.wordpress.com/2011/02/05/plato-dan-gua-alias-menanam-kerendahan-hati-intelektual/